
Asal Bangunan Shuffah
Momen yang tepat pun datang. Manakala perintah pengalihan arah kiblat datang dari arah Masjidil Aqsha ke arah Ka’bah (kaum muslimin menghadap arah Masjidil Aqsha dalam sholat selama 16 bulan pasca hijrah Rasulullah ke Madinah), akibatnya tembok yang sebelumnya berada di depan, kini menjadi di belakang masjid.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar tempat itu diberi atap. Akan tetapi, bagian sisi-sisi pinggirnya masih dibiarkan terbuka tanpa tembok penutup. Itulah tempat yang kemudian dikenal dengan Shuffah yang akan menjadi tempat tinggal bagi kaum muhajirin yang papa.
Secara pasti, tidak diketahui berapa luas Shuffah. Tapi yang jelas, tempat itu bisa menampung banyak orang. Sampai-sampai Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menjadikan tempat itu sebagai tempat walimah (acara makan-makan) yang dihadiri oleh 300 orang, meski sebagian yang hadir terpaksa duduk di kamar sebagian istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berdempetan dengan masjid (HR. Muslim, Kitâb Nikâh, no. 94).
Penghuni Penghuni Shuffah
Yang pertama kali tinggal di Shuffah adalah kaum muhajirin (Samhudi, Wafâ-ul Wafâ, 1/323). Oleh karena itu, terkadang Shuffah ini melekat dengan mereka hingga juga dikenal dengan sebutan Shuffatul muhajirin (HR. Abu daud, Kitâbul Harûf, 2/361).
Tempat ini juga menjadi tempat persinggahan para utusan yang hendak menjumpai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menyatakan keislamannya dan kesiapannya menaati Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (HR. Bukhâri, Kitâbus Shalât, Bâbu Naumir rijâl Fil Masjid dan riwayat Ibnu Mâjah, Sunan, Kitâbus Shaid, Bâbud Dhab).
Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu adalah orang yang dipercaya sebagai penanggung jawab orang-orang yang tinggal di Shuffah, baik yang menetap dalam jangka waktu yang lama ataupun yang sekedar singgah saja.
Penghuni Shuffah ini tidak hanya terdiri dari kaum muhajirin ataupun para utusan saja. Sebagian sahabat dari kalangan anshar juga menghuninya. Kendatipun mereka telah memiliki rumah di Madinah dan memiliki harta yang cukup.
Kemauan mereka untuk hidup zuhud menjadi alasan mengapa mereka memilih tinggal di Shuffah. Di antaranya, Ka’ab bin Mâlik al-anshari radhiyallaahu ‘anhu, Hanzhalah bin Abi ‘Aamir radhiyallaahu ‘anhu, dan Hâritsah bin Nu’mân radhiyallaahu ‘anhu.
Jumlah Penghuni Shuffah
Jumlah penghuni Shuffah tidak stabil. Jumlah mereka akan bertambah seiring dengan peningkatan angka pendatang ke Madinah. Namun dalam kondisi normal, jumlah penghuninya sekitar 70 orang (Abu Nu’aim, al-Hilyah, 1/339, 341). Terkadang jumlah mereka meningkat tajam.
Pernah dalam satu kesempatan, seorang diri Sa’ad bin ‘Ubâdah radhiyallaahu ‘anhu menjamu 80 penghuni Shuffah. Hitungan ini belum mencakup yang dijamu oleh para sahabat yang lain (Abu Nu’aim, al-Hilyah, 1/341).
Penyusun Kitab al-Hilyah, Abu Nu’aim menyebutkan nama-nama mereka satu persatu. Di antara mereka adalah Abu Hurairah, Abu Dzaar al-Ghifâri, Wâtsilah bin Asqa’, Salmân al-Fârisi, dan lain sebagainya radhiyallaahu ‘anhum.
Perhatian Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Penghuni Shuffah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat perhatian terhadap mereka. Seringkali, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sering mengunjungi mereka, menanyakan kondisi mereka, mengarahkan, duduk-duduk bersama, mengarahkan mereka agar banyak membaca al-Qur`ân, memotivasi mereka agar memandang dunia itu remeh dan tidak berharap untuk merengkuhnya.
Jika ada yang mengirimkan sedekah kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam lantas mengirim seluruhnya kepada mereka.
Kalau hadiah yang beliau terima, sebagiannya beliau kirimkan dan sisanya beliau ambil buat keperluan pribadi atau hadiah tersebut dinikmati bersama mereka (HR. al-Bukhâri).
Ketika putri beliau, Fâthimah radhiyallaahu ‘anhaa melahirkan Hasan radhiyallaahu ‘anhu, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya bersedekah untuk penghuni Shuffah dengan perak seberat rambut Hasan yang dicukur (Al-Baihaqi, Sunan 9/304).
Dalam riwayat Imam Ahmad rahimahullaah, diceritakan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih mengutamakan penghuni Shuffah ketimbang keluarga beliau sendiri yaitu Fâthimah.
masyallah