
Apa itu 212?
Aksi 212 digelar pada tanggal 21 Februari 2017, berlangsung di kawasan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Senayan, Jakarta Pusat. Aksi yang digagas oleh Forum Umat Islam (FUI), ini dihadiri oleh Imam Besar Front Pembela Islam, Muhamad Rizieq Shihab, dimulai pukul 08:00 pagi dan dalam keadaan hujan. Menanggapi aksi tersebut, karena dinilai memiliki muatan politik, dua organisasi keagamaan terbesar Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah memilih tidak terlibat.
Reuni Akbar 212
Reuni Akbar Alumni 212, menurut hemat penulis, layak disebut sebagai representasi “Islam 212”. Ini setelah banyaknya pihak yang agak bingung dengan sebutan apa yang layak untuk disematkan. Faktor kebingungan ini tidak lain karena rangkaian demo yang memilih tanggal-tanggal tertentu sebagai momentumnya. Angka 212 kiranya paling representatif sebagai atribut keislaman mereka yang sepaham dengan gagasan yang diusungnya. Persis seperti sebutan “Islam Nusantara” yang didengungkan kalangan NU, dan “Islam Berkemajuan” yang disuarakan kalangan Muhammadiyah.
Sebelum menilai apakah Reuni Akbar Alumni 212 politis atau tidak, ada baiknya bila kita menoleh sebentar ke masa lalu sejarah Islam terutama masa pasca-nabi Muhammad SAW.
Kenapa masa pasca-nabi, sebab di masa nabi sendiri jelas terpisah antara kaum muslim dan kafir, sedangkan masa pasca-nabi, terjadi konflik internal di kalangan muslim sendiri.Kalangan Islam 212 merasa bahwa dirinya merupakan representasi Islam, sementara kalangan yang tak sepakat dengan anggapan tersebut menganggap bahwa keislaman tak mesti tunggal.
Klaim gegabah bahwa yang tak sepakat pada Islam 212 merupakan pendukung Jokowi dan Ahok jelas merupakan asumsi sempit dan kekanak-kanakan.Tak sepakat pada Islam 212 tidak mesti otomatis menjadi pendukung Jokowi dan Ahok.
Konflik Internal dalam Masa Islam Awal
Ucapan dari Khalifah Ali yang penulis cantumkan di atas terlontar saat klimaks perang Shiffin.Perang Shiffin adalah rangkaian dari Fitnah kedua yang dialami umat Islam setelah fitnah pertama di mana Khalifah Utsman terbunuh dalam kerusuhan sosial.Perang Shiffin terjadi setelah perang Jamal (Unta). Perang Jamal adalah peperangan antara Ali ibn Abi Thalib versus triumvirat yang terdiri dari ‘Aisyah binti Abu Bakar, Zubair ibn ‘Awwam, dan Thalhah ibn Ubaidillah.Sedangkan Perang Shiffin adalah perang antara Ali dengan Muawiyah ibn Abi Sufyan.
Baik Perang Jamal maupun Perang Shiffin yang berhadap-hadapan sama-sama muslim. Kesemua konflik berdarah ini terjadi sekali lagi antara muslim versus muslim. Yang lebih miris lagi konflik antara sahabat dengan sahabat.
Kondisi pertempuran dalam perang Shiffin sejatinya sudah didominasi pihak Ali, sementara pasukan Muawiyah yang dipimpin ‘Amr ibn al-Ash sudah merasa terdesak.Klimaks perang Shiffin ini ditandai dengan pasukan perang Gubernur Muawiyah ibn Abi Sufyan yang mengacungkan mushaf (lembaran) al-Quran di atas tombak. Sembari mengacungkan mushaf al-Quran di atas tombak, pasukan Muawiyah berseru-seru agar kedua belah pihak berdamai dengan merujuk pada kitabullah tersebut.
Kelompok Muawiyah menyerukan tahkim atau arbitrase. Pengalaman dalam beragam diplomasi dan perang mendorong Sayyidina Ali mengucapkan kalimat ironis pembuka kalam di atas.
Ucapan ini tercatat jelas dalam kitab Nahj al-Balaghah.Menurutnya, pihak lawan tidak menginginkan perdamaian, melainkan menjalankan taktik belaka dengan bersembunyi di balik mushaf al-Quran.Dalam bahasa kiwari, pihak Muawiyah melakukan politisasi agama.Agama dipakai, dimanfaatkan, dan ditunggangi untuk kepentingan politik dan kekuasaan.
Membenarkan intuisi Ali, sejarah mencatat peristiwa Tahkim bukan berakhir pada perdamaian.Pasalnya, pihak Ali dicurangi dalam diplomasi. Tak pelak peristiwa Tahkim ini membawa pada perpecahan umat Islam menjadi tiga: kelompok yang mendukung Muawiyah, kelompok penyokong Ali dan kelompok yang mengkafirkan Muawiyah dan Ali sekaligus. Secara berturut-turut yang pertama dikenal dengan Jamaah, yang kedua Syi’ah Ali dan terakhir kelompok Khawarij.
Beberapa Tuntutan Masyarakat kepada pemerintah :
- Meminta DPR/MPR melayangkan surat kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo terkait penonaktifan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
- Gubernur DKI Jakarta dinilai tidak layak tetap dijabat oleh seseorang dengan status terdakwa kasus dugaan penodaan agama.
- Meminta aparat penegak hukum tidak melakukan kriminalisasi terhadap ulama dan mahasiswa, serta minta aparat penegak hukum menangkap Ahok.
Atas tuntutan tersebut, Komisi III DPR RI akan meneruskan kepada pimpinan DPR untuk dapat diteruskan kepada Presiden, serta melaporkan kepada Kapolri, Jendral Tito Karnavian pada rapat kerja dengan Komisi III, 22 Februari 2017.

“Saya justru senang jika pihak kepolisian melarang bus bus daerah datang ke Jakarta. Saya senang jika aksi 2 Desember dihalangi. Saya sangat senang dan berterima kasih kepada polisi, karena itu artinya, hanya orang pilihan saja yang sampai ke Jakarta”
Ustadz Bakhtiar Nasir
Wih web nya bagus gak bikin ribet pembaca
subhanallah akhirnya nemu artikel seperti kompas tv namun versi islaminya
Masya allah, ana tersentuh bacanya… Semoga menjadi amal jariyah untuk penulis, aamiin ya rabb 🤲